SANG KAJAO LALIDDONG CENDEKIAWAN BUGIS MASA LAMPAU
oleh : H.Ajeip Padindang,S.E,M.M.
===================
Alhamdulillah, syukur tiada hentinya kepada Allah SWT, sebab ternyata Buku tentang, ‘Kajao Laliddong’ diminati banyak orang terutama kalangan pendidik dan mahasiswa. Bahkan seharusnya juga menjadi bahan bacaan penting kalangan birokrat, terutama di wilayah Bugis, agar dapat memahami berbagai falsafah pemerintahan masa lampau Kerajaan Bone yang mampu membawa kedamaian bagi negrinya dan kesejahtraan untuk rakyatnya.
Edisi pertama yang saya beri pengantar, habis terjual dan kemudian dicetak ulang dan itupun sudah tidak ada tersisa ditangan penyusunnya, Asmat Riady Lamallongeng. Olehnya, secara resmi diluncurkan edisi kedua ini, disertai berbagai penyempurnaan, termasuk pengantar kata saya, H.Ajeip Padindang,S.E,M.M;
Sejujurnya, sebagai seorang yang bergelut didunia politik dengan latar belakang kehidupan jurnalistik dan dunia kesenian maupun Budaya lokal Sulawesi Selatan, sangat kagum dengan pemikiran-pemikiran Kajao Laliddong. Banyak pemikiran Kajao Laliddong yang saya coba implementasikan dalam kehidupan berpolitik sekarang ini.
Penelusuran sejarah budaya para tokoh cendekiawan Bugis seperti La Tiringeng To Taba, Puang Rimaggalatung, serta Arung Bila dari Soppeng dan To Ciung dari Luwu, bahkan Boto Lempangan dari Gowa serta Nenek Mallomo dari Sedenreng, kuat dugaan bahwa justru mereka mengembangkan pemikiran Kajao Laliddong paling tidak terjadi interaksi pemikiran diantara mereka sehingga sulit sekali mengklaim sebagai pemikiran murni tokoh siapa dan dari mana. Soalnya tidak ada catatan langsung dari mereka, kecuali mengutip pendapatnya dari berbagai Lontarak dengan sumber utama Lontara La Toa.
Dekade kemunculan Kajao Laliddong diakhir abad XVI hingga awal abad XVII, seangkatan bahkan lebih duluan dengan fase Karaeng Pattingngaloang di Tallo yang dikenal seorang cendekiawan besar Makassar yang menciptakan Teropong. Penelusuran dengan menggunakan analisis kejadian dalam silsilah raja-raja Bugis, khususnya Bone, menunjukkan bahwa masa keberadaan Kajao Laliddong, ketika masih berlaku system pemerintahan ‘Matoa’ sebutan kepala kaum atau komunitas. Sebutan Matoa kemudian berkembang menjadi Arung atau Datu dalam suatu tatanan pemerintahan yang sudah terstruktur.
Dewan adat yang dikenal ‘ade pitu’ di Bone, belum terbentuk ketika ayah Kajao Laliddong berkuasa sebagai ‘Matoa Cina’ yang merupakan kerajaan tua jauh sebelum Kerajaan Bone berdiri melalui kemunculan To Manurung di Matajang, sekitar abad XIV. Matoa Cina, suatu wilayah otonom yang kemudian juga bergabung dalam Kerajaan Bone.
Cina, memang suatu nama wilayah yang selalu disebutkan dalam Buku La Galigo, sekalipun ada pengertian lain bahwa Cina yang dimaksudkan adalah Negera Cina yang sekarang. Tetapi dalam berbagai diskusi budaya tentang La Galigo, kuat dugaan bahwa Cina yang ada di Bone dan merupakan kampung kelahiran Kajao Laliddong, adalah serangkaian negri-negri yang dijelajahi Sawerigading ketika berlayar kenegri Ugi.
Alur perjalanan Sawerigading memburu We Cuddai, dapat diidentifikasi dari Cina yang ada di Pammana, Wajo dulu dikenal Cina riaja, sedangkan yang di Bone dikenal Cina Rilau. Bahkan pada sekitar wilayah yang dikenal pusat kerajaan Cina Rilau (Bone), sekarang ini dapat ditemukan berbagai bukti lapangan. Misalnya, Kuburan Bissu, Sumur Bissu, Makam Purba ( Masih membujur kebarat), bahkan di puncak Gunung Cina masih ada alat pernujuman yang dikenal sebagai alat permainan tradisional yaitu ‘Batu Galaceng.’
Kampung Laliddong yang masuk dalam wilayah Kerajaan Cina, jika ditelusuri lebih jauh seperti yang saya sudah dua kali laksanakan di seputar wilayah itu, memang mengesankan bahkan masih menyimpan sejumlah bahan dasar pengakajian sejarah Bone. Selain kondisi alam dan khususnya batu pegunungan Cina yang merupakan batu karang, juga tradisi masyarakatnya sangat identik dengan sejumlah anasir tradisi Orang Cina. Sebab ketika saya ke Negera Cina, tahun 2004 dan berkunjung sampai ke Tembok Cina, kesan alam dan lingkungannya hampir seirama dengan keadaan di Cina – Bone, saat ini.
Tradisi yang masih dipertahankan masyarakat Cina di Bone ini, mulai dari tata cara pengantin dan perlengkapannya, terutama yang dilaksanakan oleh Biksu, sudah jelas sangat mirip dengan tatanan adat istiadat Cina. Kajao Laliddong sendiri, hidup di masa sebelum Islam masuk kewilayah itu sehingga dipercayai orang di Laliddong bahwa kuburannya adalah berupa Guci yang ditanam.
Kajao Laliddong, Mengukir Sejarah Bangsa Bugis
Mengukir sejarah pada abad XVI atau XVII di Sulawesi Selatan, merupakan suatu prestise gemilang yang hingga kini masih sulit ditandingi. Sosok seorang tokoh bergelar Kajao Laliddong, penasehat Raja Bone, memang patut dikenang, dicatat pemikirannya serta diungkapkan nilai-nilai yang dikandung maksud dari berbagai pesan yang diungkapkannya.
Sebagai seorang anak penggembala dari Kampung Laliddong, konon hobbinya makan siput hingga ada legenda disana sebuah gunung terbentuk dari ampas siput makanan Kajao Laliddong. Kini lokasi Kampung Laliddong, Kampung Kajao Laliddong yang tidak diketahui nama aslinya itu, masuk Desa Padangloang, Kecamatan Cina, sekitar 10 km sebelah barat Watampone. Sebagai seorang rakyat biasa yang hanya dikenal anak dari Matoa Cina, maka sudah pasti tidak mungkin dapat menginjak Istana kerajaan secara bebas, kalau tidak memiliki keajaiban dalam dirinya. Kalau tidak karena hak-hak istimewa yang diberikan oleh Arung Mangkau, sebutan sebagai kepala pemerintahan Kerajaan Bone.
Sebab meskipun feodalisme tidak dikenal dalam lingkungan Kerajaan Bone di masa itu, namun tatanan adat istiadat mengajarkan untuk menghargai posisi Raja dan lingkungan Istananya, tidak memperkenankan orang-orang yang bukan anggota perangkat kerajaan – para pegawai atau sanak keluarga, bebas masuk keluar lingkungan Istana. Sekali lagi, Kajao Laliddong, salah satu yang teristimewa karena sekaligus diberi tempat tinggal dalam lingkup Istana. Bebas masuk keluar lingkungan Istana.
Kajao, sebutan bagi seorang cendekiawan di Kerajaan Bone, bukan sebuah nama yang karena kebetulan saja dia orang tua, seperti pemahaman sekarang ini. Kajao, seperti juga Boto bagi Kerajaan Gowa dan To Acca di Kerajaan Luwu, adalah pemberian gelar karena kelebihan-kelebihan yang melebihi kebanyakan orang tua lainnya. Di Kerajaan Bone, justru merupakan posisi istimewa, buktinya tidak ada lagi sebutan Kajao sesudah Kajao Laliddong.
Kajao Laliddong, dipilih dan diangkat sebagai penasehat Raja, sekaligus sebagai pemikir ahli untuk pemerintahan Kerajaan Bone. Dan jika Ia dipilih, tentu saja bukan karena nepotisme Raja apalagi KKN, istilah sekarang ini. Sebab seperti saya kemukakan sebelumnya, Ia berasal dari lingkungan strata masyarakat bawah dari sebuah kampung di luar pusat kegiatan Kerajaan Bone. Sulit sekali menemukan silsilah Kajao Laliddong, sebab tidak diketahui nama aslinya serta juga konon tidak punya turunan, malahan dianggap sebagai Bissu.
Dibalik pemikiran Kajao Laliddong yang para pembaca dapat menyimaknya dalam uraian buku ini, adalah justru sikap Raja Bone dalam menunjuk seorang penasehat dan pemikir kerajaan. Cara merekrut seorang penasehat, tidak banyak ditemukan dibalik cerita-cerita kerajaan di masa lalu, kecuali bahwa seorang Raja apabila mendengar ada orang pintar dinegrinya, dipanggilnya kemudian di uji dalam bentuk dialog dan ujian ketangkasan, sebutlah semacam fit and propert tes, sekarang ini yang langsung dilaksanakan oleh raja sendiri.
Apabila dalam dialog itu terungkap pernyataan yang menurut raja, ada sesuatu yang mengesankan, misalnya kecerdasannya dalam menterjemahkan gejala alam, kepiawaian menjawab pertanyaan, kepandaian merangkai kata-kata dan menggunakan symbol-simbol makna, maka terpililah yang bersangkutan. Coba kita simak sebuah legenda yang menyebutkan tentang episode ujian yang harus dilalui Kajao Laliddong.
Raja Bone menguji La Mellong, nama biasanya sekalipun belum nama aslinya, karena itu juga identik dengan nama kampong asalnya, yakni disuruhnya mengumpulkan orang buta 40 orang. Padahal dapat dibayangkan, sekarang saja dengan penduduk Bone sekitar 800.000 jiwa sulit mencari orang buta 40 orang apalagi, di abad XVII.
Tat kala sudah didepan Raja Bone, Ia ditanya : “ Apakah kamu sanggup membawakan saya empat puluh orang buta ke Istana ini ?” Mendengar permintaan Raja Bone itu, La Mellong terdiam, kemudian keluarlah dari Istana. Ideanya kemudian muncul dengan cara menarik Sebatang Bambu yang masih ada tangkai dan daunnya keliling kampung hingga depan Istana Raja Bone. Setiap orang yang dilewati bertanya, “Apa yang kau lakukan La Mellong,” maka yang bersangkutan lantas disuruh ikut ke Istana, hingga tiba didepan tangga, seorang pengawal bertanya pula. “Apa yang kau bawa itu Lamellong.”
La Mellong mengitungnya sebagai orang ke empat puluh yang kemudian ditunjukkan pada Raja Bone, bahwa mereka semua yang ikut padanya hingga didepan tangga Istana, adalah orang buta. “Semua itu Orang Buta Puangta Mangkau, sebab dia tidak lihat kalau saya menarik sebatang bambu.” Sang Raja terkesan dan hampir saja bertanya pula tentang apa yang dilakukan oleh La Mellong. “Mereka bertanya pada saya, apa yang saya bawa Puangta, padahal jelas bambu, berarti mereka orang buta.”
Buta dalam pengertian dan penjelasan La Mellong alias Kajao Laliddong, bukan hanya mata yang rusak, sebab biji mata adalah alat untuk melihat. Yang sesungguhnya melihat adalah hatinya. “ Mereka membelalakkan matanya, tetapi pikirannya buta Puangta, dan jauh lebih berbahaya bagi kemajuan negri,” urainya. Sang Raja Bone terkagum-kagum. Dan banyak lagi cerita-cerita yang bersifat anekdot tetapi mengandung kebenaran, pesan tentang ajaran budaya, dllnya. Cerita lisan ini pun masih banyak beredar di masyarakat Bugis di Cina, Bone, sekarang ini.
Hanya saja sebagai cerita yang mungkin bisa bersifat dongeng, banyak kemiripan tema dengan cerita diberbagai wilayah bukan hanya dinegri-negri Bugis. Coba saja kalau dibaca cerita lucu tentang Abu Nawas yang suka memperdaya Raja Irak, kita lantas menghayalkan persamaannya dengan berbagai cerita cendekiawan masa lampau di wilayah ini. Bagi Orang Sidenreng, cerita tentang Orang Lise, kampung awal Nenek Mallomo, banyak sekali cerita lucunya namun penuh informasi tentang pengetahuan.
Seleksi seorang menjadi Kajao, tidak sekadar diukur kepintarannya dalam konsep Kerajaan Bone. Sebab sebagai KAJAO bukan hanya penasehat kerajaan, melainkan juga sebagai JURU BICARA dan DIPLOMAT negara sekaligus sebagai penujum. Dalam melaksanakan tugas diplomasi, kekuasaan dan kewibawaan kerajaan terletak diujung lidah seorang Kajao. Banyak sekali legenda Kerajaan Bone, diukuir secara manis oleh Kajao Lalioddong, atas keberhasilannya menjadi diplomat keberbagai negara kerajaan terdekat, seperti Wajo, Soppeng dan Sidenreng.
Pintar saja tidak cukup bagi pemahaman Kajao Laliddong, namun harus menjadi cerdas. Dari kecerdasan ada sikap berfikir yang bijak. Kepiawaian dan kesigapan berfikir menjadi faktor utama, karena kondisi lingkungan yang tidak boleh terlalu lama mencari argumen apabila ada keinginan raja yang segera harus ditanggapi apalagi kalau terkait dengan keadaan genting kerajaan. Sebab memang waktu itu, Bone sedang berjayanya dan selalu menjadi inceran Kerajaan Gowa yang terus menerus mengadakan invasi keberbagai wilayah agar menjadi Kerajaan terbesar di jasirah selatan Pulau Sulawesi. Bone dianggap sebagai kerajaan rival terberatnya.
Peran penasehat Raja yang sekaligus pemikir kerajaan, sangat besar dalam mempengaruhi penetapan keputusan tentang sikap kerajaan menanggapi berbagai masalah. Terkhusus bagi Raja selaku kepala pemerintahan, apabila salah pengambilan keputusan maka pasti kerajaan akan hancur dan rakyat korbannya. Tetapi coba kita lihat kiprah Kajao Laliddong yang gemilang dalam mengarsiteki hegemoni kekuasaan Kerajaa Bone abad XVII.
Lahirnya konsep awal SEMPUGI melalui Perjanjian antar kerajaan Bone, Soppeng, Wajo yang dikenal ‘Lamumpatue’ di Timurung, adalah Kajao :Laliddong yang berangkat dari gagasan Raja Bone, agar jangan ada perang antar kerajaan tetangga, bahkan lebih baik bersatu menghadapi serangan dari Makassar. Tellumpoccoe sebagai persekutuan dari Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng, disatukan dalam perjanjian ‘Lamumpatue’ itu, kemudian dikembangkan oleh Arung Palakka melalui La Patau Matanna Tikka, menjadi persekutuan TELLU BUCCOE yakni, Luwu, bone dan Gowa. Persekutuan inilah yang sekarang terwarisi menjadi Sulawesi Selatan sehingga wajar saja kalau kepemimpinan sekarang ini tidak terlepas factor sejarah budayanya dengan keberadaan Tellu Boccoe’ pada abada XVII.
Makna seperti itulah yang kiranya perlu dijadikan pengalaman berharga untuk sekarang ini, sebab banyak kepela pemerintahan tidak mengangkat penasehat atau staf ahli, lantaran mungkin tidak mau dicampuri dalam penetapatan keputusannya. Ada juga yang mengangkat staf ahli, tetapi hanya simbolik sebab rekruitmennya berbabau ‘koncoisme’ belaka.
Yang lebih tragis, kalau istri kepala pemerintahan menjadi dominan dalam memberikan pertimbangan suaminya, celakalah keadaan negara, sebagaimana dipesankan juga Kajao Laliddong. ‘Jangan meminta pertimbangan pada perempuan kalau menyangkut keadaan perang negara, karena wanita lebih mengutamakan perasaannya.’
Di masa pemerintahan Kerajaan Bone, sejak Era Tomanurung hingga Raja Bone terakhir Haji Andi Mappanyukki, tidak semua menggunakan penasehat kerajaan seperti sebutan KAJAO, tetapi sebagai negara kerajaan yang berserikat dan cenderung bersifat parlementer karena kuatnya peranan DEWAN ADAT, maka tidak ada keputusan Raja tanpa melalui pertimbangan dalam permusyawaratan.
Salah satu ajaran Kajao Laliddong tentang politik dan pemerintahan adalah : “ Luka taro arung telluka taro ade Luka taro ade telluka taro anang,” yang artinya secara bebas bahwa, keputusan raja dapat dibatalkan oleh kehendak dewan adat, namun ketetapan dewan adat dapat dianulir oleh kesepekatan rakyat banyak.
Makna ajaran tentang demokrasi Bugis yang diamanahkan oleh Kajao Laliddong dengan menempatkan rakyat sebagai kunci keputusan dalam suatu pemerintahan, menunjukkan arti demokrasi yang sesungguhnya, padahal Kajao Laliddong bukanlah orang yang pernah mengecap pendidikan formal apalagi pendidikan barat. Makna, ajaran ini justru sekarang diimplementasikan dalam proses demokrasi melalui perwakilan rakyat ( MPR, DPR, DPRD).
Sang penasehat, tidak serta merta juga didengar pendapatnya, sebab dalam berbagai dialog dengan Raja Bone, maka Kajao Laliddong terkadang berbicara didepan dewan hadat – ADE PITU – terkadang memang hanya pada Arung Mangkau saja. Artinya, pendapat penasehat, apabila menyangkut kenegaraan, masih harus dimintakan pertimbangan dewan hadat. Persetujuan itu diperlukan, karena yang akan memimpin dan mengarahkan pelaksanaannya nanti adalah, melalui anggota dewan adat.
Dalam pengantar kata ini, sengaja digunakan istilah penasehat raja dan pemikir kerajaan. Sebab memang setidaknya dalam menjalankan peran Kajao Laliddong sebagaimana kajian atas berbagai pernyataannya, Ia terkadang sebagai penasehat Raja saja. Diminta atau tidak, Kajao Laliddong memberikan nasihat. Jika tidak diminta dan apabila ada yang dianggap Kajao Laliddong perlu disampaikan pada raja, maka digunakan symbol-simbol atau gerak isyarat.
Berbagai cerita yang direkam penulis, apabila ada yang disampaikan Kajao Laliddong tapi tidak dapat disampaikan langsung, maka Ia mengurung diri dalam kamar beberapa hari tanpa makan dan minum. Pada saat itulah biasanya raja bertanya. “ Apa yang merisaukan hati Kajao hingga mengurung diri di kamar.” Mengurung diri di sebuah kamar, sesungguhnya adalah suatu upaya perenungan untuk menemukan pemikiran yang jernih. Bukankah Nabi Muhammad harus bersemedi di Gua Hira, luar Kota Mekkah, untuk memperoleh wahyu ?
Kajao Laliddong dalam memberikan jawaban tidak juga secara ferbal, melainkan dalam perandaian atau kata simbolik, “ Saya mencoba merasakan bagaimana perasaan rakyat jika tidak pernah melihat pemimpinnya,” demikian jawabannya jika ditanya oleh raja akan sikapnya yang suka bersemdi. Melalui ungkapan itu raja mengerti bahwa koreksi atas dirinya yang tidak pernah keluar istana melihat keadaan masyarakat secara langsung.
Ungkapan itu sekaligus menggambarkan bahwa, nasehat itu pada dasarnya bermuatan saran atau kritikan untuk memperbaiki sikap bertindak seorang raja pada rakyatnya. Artinya, sang penasehat seperti Kajao, tidak berucap atau bersikap asal menyenangkan rajanya. Bukan Asal Bapak Senang (ABS), seperti yang banyak dipraktekkan seorang bawahan kepada atasannya, terutama kepada pimpinan pemerintahan di wilayah Bugis.
Sebagai seorang pemikir, Kajao Laliddong mengungkapkan dalam pertemuan dewan hadat, jika diminta berpendapat atas diskusi antar anggota dewan adat. Secara bijak, memang Kajao hanyalah diam pada pertemuan dewan adat, sebab bukan anggota, sehingga nanti berpendapat jika diminta oleh raja. Namun jika sudah berpendapat, biasanya menjadi dasar kesepakatan yang disetujui dewan adat.
Sengaja digambarkan betapa pentingnya posisi dan peranan seorang penasehat raja atau pemikir kerajaan, yang dimainkan oleh Kajao Laliddong di masa pemerintahan Kerajaan Bone saat itu. Sama pentingnya penasehat Kerajaan Gowa yang dimainkan oleh cerdik cendekianya yang bernama Boto Lempangan. Sama cerdas dan pintarnya dengan To Ciung, To Accana Luwu. Atau Nenek Mallomo di Sidenreng.
Hampir disetiap kerajaan, ada seorang cerdik cendekia yang muncul, bedanya ada yang menjadi penasehat langsung kerajaan seperti di Bone, ada juga tidak demikian. Di Soppeng misalnya, malahan Arung Bila sendiri adalah seorang cerdik cendekia. Karaeng Pattingalloang, di masa Kerajaan Tallo, mendapat pengakuan dunia atas kecerdasan dan kepintarannya.
Colli Pujie, Arung Pancana dari Tanete – Berru, mendapat kepercayaan untuk menulis kembali naskah Surek Galigo yang hingga kini menjadi sumber penting bagi semua peniliti dan penulis cerita I Lagaligo yang diakui sebagai termasuk salah satu keajaiban dunia karena panjang naskahnya hampir 10.000 halaman.
Menterjemahkan dan menulis ulang nasehat-nasehat atau pemikiran Kajao Laliddong seperti yang dilakukan oleh Asmat Riady Lamallongeng, bukan hal baru. Hanya saja menerbitkan secara formal hingga berulang-ulang, barulah Asmat Riady, seorang Budayawan Bone, berani melaksanakannya. Banyak orang sudah pernah menuli cerita Kajao Laliddong, namun secara lengkap dan mendalam, sangat kurang tulisan ditemukan atau diterbitkan. Tentu saja penulisan dan pengkajian mendalam masih sangat diperlukan, sebab makin banyak yang mengungkapkan ajaran Kajao Laliddong akan makin member pengetahuan yang bijak bagi masyarakat.
Anwar Ibrahim, dosen UNHAS, Budayawan, juga orang Bone, banyak mengkaji dan mengutip ungkapan Kajao Laliddong, tetapi menuliskan panjang makna pemikirannya, belum sampai menjadi satu buku. Padahal sekali lagi, sangat perlu dibaca dan diketahui pokok-pokok pemikiran cendekiawan masa lampau.
Dari ungkapan itu, pengetahuan tentang Ilmu kenagaraan dan pratik kepemerintahan yang baik di Kerajaan Bone, masa lampau, dapat dipetik untuk diterapkan dalam mengelola Kabupaten Bone di era otonomi daerah. Secara khusus, seorang Bupati dapat menafasi kebijakannya, cukup dengan membaca buku himpunan pemikiran Kajao Laliddong.
Sekarang, pembaca dapat menyimak lebih dalam ungkapan Kajao Laliddong dalam penerbitan buku yang digarap oleh Asmat Riadi Lamallongeng dan diterbitkan oleh Lamacca Press, edisi kedua ini. Tentu saja masih banyak kelemahan dalam pengumpulan bahan dan penulisan ulang yang memerlukan waktu lama dan itupun masih harus disempurnakan. Tugas kita menyimak dan menyempurnakannya.
Selamat membaca dan membacanya.
H.Ajiep Padindang, nama asli Andi Jamaluddin Padindang, selesai S-1, di Faklutas Ekonomi UVRI dan S-2 di Program Pascasarjana UMI, saat ini aktif melakukan pengkajian Budaya Bugis dan memprakarsasi pertunjukan seni tradisional melalui Lembaga Seni Tradisional Indonesia Sulawesi Selatan yang dipimpinnya. Selain itu, bercita-cita menjadikan rumahnya di Jalan Sungai Asahan sebagai Pusat Kajian dan Informasi Budaya Bugis bersama Asmat Riady L.
H.Ajiep Padindang, aktif didunia politik melalui Partai Golkar dan menjadi anggota DPRD Sulsel sejak tahun 1997, kini Ketua Komisi II Bidang Keuangan dan Ekonomi. Namun disela-sela kesibukan menjadi anggota DPRD Sulsel, masih selalu menyisihkan waktunya menulis dan menjadi pengarah pertunjukan.
Bersama Asmat Riady, Tahun 2006 memproduksi Opera Bugis : Tomalaweng. Sejumlah naskah puisi, cerpen dan essei juga naskah drama dan sinetron ditulisnya, seperti Cerita Tradisional : Tragedi Lamoncong, produksi TVRI Stasion Sulsel. “Tellabu Essoe Ritengngana Bitarae–Takkan tenggelam mentari ditengah langit, ” motto dari putra Masago – Patimpeng, Bone bagian selatan ini. ***